ASAL MULA BOTU LIODU LEI LAHILOTE
Alkisah,
di Tanah U Duluo lo`u Limo lo Pohite, Gorontalo, ada seorang pemuda tampan dan
gagah bernama Piilu Le Lahilote, yang akrab dipanggil Lahilote. Ia tinggal
seorang diri di sebuah rumah kecil di pinggir hutan. Ia pemuda yang tekun,
pekerja keras, dan memiliki angan-angan yang tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, setiap hari ia moleleyangi (mengembara masuk keluar hutan) berburu
binatang.
Suatu
hari, ketika hendak beristirahat di tepi telaga di tengah hutan, Lahilote
mendengar suara gadis-gadis yang sedang ramai bercanda.
“Hai,
suara siapa itu? Dari mana sumber suara itu?” tanya Lahilote dalam hati.
Lahilote
pun segera mencari sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui
bahwa sumber suara tersebut berasal dari telaga itu. Ia kemudian bersembunyi di
balik sebuah pohon besar, lalu mengintip untuk memeriksa keadaan. Ia tersentak
kaget melihat tujuh gadis cantik sedang asyik mandi dan bersenda gurau di
telaga itu. Ia mengawasi setiap gerak-gerik mereka tanpa berkedip sedikit pun.
Rupanya, pemuda tampan itu terpesona melihat kecantikan para gadis tersebut.
Mulanya,
Lahilote mengira ketujuh gadis itu penduduk bumi. Namun, setelah melihat
tumpukan pakaian dan sayap yang berada di tepi telaga, barulah ia sadar bahwa
ternyata mereka adalah Putri lo Owabu (putri kahyangan/bidadari). Karena
terposana melihat kecantikan para bidadari tersebut, maka timbullah niatnya
untuk menahan salah seorang dari mereka untuk dijadikan istri. Dengan
kesaktiannya, ia segera mengubah wujudnya menjadi seekor ayam hutan jantan.
Kemudian ia berjalan mendekati tempat tumpukan pakaian dan sayap itu sambil
mengais-ngaiskan kakinya di tanah. Pada saat ketujuh putri kahyangan tersebut
menyelam, dengan cepat Lahilote mengambil salah satu dari tujuh sayap tersebut,
lalu membawanya pulang dan menyembunyikannya di lumbung padi yang berada di
kolong rumahnya.
Setelah
itu, Lahilote bergegas kembali ke telaga. Setibanya di sana, ia mendapati
ketujuh bidadari tersebut sedang berkemas-kemas. Satu persatu mereka mengenakan
pakaian masing-masing. Betapa terkejutnya salah satu dari bidadari itu ketika
mengetahui sayapnya tidak ada di tempatnya. Rupanya, bidadari yang kehilangan
sayap itu adalah bidadari yang paling bungsu.
“Kak!
Apakah kalian melihat sayap Adik?” tanya bidadari bungsu.
“Tidak,
Dik!” jawab keenam kakaknya serentak.
“Tadi
Adik meletakkannya di mana?” tanya bidadari sulung.
“Adik
meletakkannya di atas batu ini bersama pakaian Kakak,” jawab bidadari bungsu
dengan bingung.
Sementara
bidadari bungsu sedang kebingungan mencari sayapnya, keenam kakaknya telah
bersiap-siap terbang menuju Kahyangan karena hari sudah semakin sore.
“Bungsu!
Kami harus meninggalkanmu sendirian di sini!” ujar si sulung seraya terbang ke
angkasa bersama keempat adiknya yang lain.
“Bagaimana
dengan nasib Adik, Kak?” teriak si bungsu mengiba.
“Maafkan
kami, Dik! Kami tidak bisa membantumu. Jagalah dirimu baik-baik!” seru putri
sulung.
Si
Bungsu hanya bisa berdiri terpaku memandangi keenam kakaknya yang terbang ke
angkasa. Ketika mereka menghilang dari pandangannya, ia pun menangis
tersedu-sedu meratapi nasibnya.
“Ayah....
Ibu...! Tolonglah aku! Aku tidak mau tinggal sendirian di sini,” keluh si
Bungsu.
Sementara
itu, Lahilote yang melihat si Bungsu bersedih segera keluar dari
persembunyiannya, lalu menghampirinya.
“Hai,
gadis cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu bersedih dan menangis?” tanya Lahilote
seolah-olah tidak mengetahui peristiwa yang menimpa bidadari itu.
Gadis
cantik itu tidak menjawab. Ia terus menangis tersedu-sedu. Ia baru berhenti
menangis setelah Lahilote membujuk dan merayunya berkali-kali.
“Nama
saya Boilode Hulawa dari Negeri Kahyangan,” kata bidadari itu memperkenalkan
diri.
Begitu
pula sebaliknya, Lahilote memperkenalkan diri kepada Boilode Hulawa, lalu
kembali menghiburnya.
“Wahai,
Boilode Hulawa! Dinda tidak perlu bersedih hati tinggal di bumi ini. Kanda akan
menolong Dinda,” hibur Lahilote.
“Tapi,
Kanda! Dinda tidak mempunyai sanak saudara dan keluarga di negeri ini,” kata
bidadari bungsu itu dengan hati sedih.
“Tenanglah!
Dinda tidak usah khawatir! Dinda boleh tinggal bersama Kanda di rumah Kanda,”
bujuk Lahilote.
Mendengar
bujukan itu, hati Putri Boilode Hulawa yang tadi sedih berubah menjadi senang
dan gembira. Lahilote pun mengajak Putri Boilode Hulawa ke rumahnya. Selang
beberapa lama tinggal bersama, Lahilote menyampaikan keinginannya untuk
menikahi putri kahyangan itu.
“Dinda!
Maukah Dinda menikah dengan Kanda?” bujuk Lahilote.
Putri
Boilode tersenyum, lalu menjawab:
“Wahai
Kanda! Dinda tidak mempunyai alasan untuk menolak keinginan Kanda. Kepada siapa
lagi Dinda harus menggantungkan nasib di negeri ini selain kepada Kanda,” jawab
Putri Boilode menerima lamaran Lahilote.
Akhirnya,
Lahilote dan Putri Boilode pun menikah. Mereka hidup rukun dan damai. Sejak
itu, Lahilote semakin rajin bekerja. Ia tidak hanya berburu, tapi juga bercocok
tanam. Sementara Boilode Hulawa sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga seperti
memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.
Setahun
kemudian, Boilode mulai merasa bosan dan capek melakukan pekerjaan-pekerjaan
berat tersebut. Ia baru merasakan betapa beratnya hidup di dunia karena harus
bekerja keras untuk mencari nafkah. Namun, dengan kesaktiannya, ia dapat
memasak sebutir beras yang mampu mencukupi makan mereka berdua dalam satu hari.
Dengan begitu, ia bisa menghemat tenaga dan makanan. Tapi, hal itu tidak boleh
diketahui suaminya agar kesaktiannya tidak hilang.
Suatu
hari, Lahilote melihat ada sesuatu yang aneh pada istrinya. Ia berpikir, sudah
beberapa bulan istrinya memasak nasi untuknya, tapi padi di lumbung tidak
pernah berkurang. Ia juga tidak pernah melihat istrinya menumbuk padi
sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu, timbullah niatnya
untuk mengawasi perilaku sehari-hari istrinya. Ia yakin bahwa istrinya sedang
merahasiakan sesuatu kepadanya.
Keesokan
harinya, Lahilote berpura-pura berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke kebun.
Tanpa curiga sedikit pun, Boilode Huwala segera memasak satu butir beras dalam
periuk dan menutupinya rapat-rapat. Sambil menunggu nasi itu masak, ia pergi ke
sumur mencuci pakaian. Pada saat itulah, Lahilote yang bersembunyi di balik
sebuah pohon besar di belakang rumahnya segera menyelinap masuk ke dapur.
Betapa terkejutnya ia ketika membuka tutup periku itu. Ia melihat isi periuk
itu hanya sebutir beras.
“Oh,
pantas saja padi di lumbung tidak pernah berkurang, setiap hari istriku hanya
memasak sebutir beras. Tapi, mengapa dia merahasiakan hal itu kepadaku?”
pikirnya seraya meninggalkan dapur.
Tak
berapa lama kemudian, Boilode kembali dari sumur. Alangkah terkejutnya ia
ketika masuk ke dapur memeriksa isi periuknya.
“Waduh,
celaka! Kenapa berasnya masih tetap sebutir? Apakah suamiku telah melihat isi
periuk ini?” pikirnya.
Setelah
Putri Boilode Hulawa membiarkannya beberapa saat di atas tungku, beras itu
tetap tidak berubah. Melihat hal itu, seluruh tubuhnya menjadi lemas dan tidak
bergairah. Ia hanya bisa duduk termenung menyesali nasibnya karena rahasianya
terbongkar. Dengan demikian, ia harus kembali bekerja keras.
Sejak
itu, Putri Boilode harus menumbuk padi setiap hari untuk dimasak. Semakin hari
padi dalam lumbung mereka pun semakin berkurang. Setahun kemudian, persediaan
padi di lumbung mereka habis. Pada saat akan mengambil padi yang terakhir untuk
ditumbuk, ia melihat sebuah benda di bawah lapisan lumbung itu.
“Hei,
benda apa itu? Sepertinya aku pernah melihatnya?” gumam Putri Boilode.
Setelah
memeriksa dan mengamati benda itu dengan seksama, Boilode tersentak kaget.
Rupanya, benda itu tidak lain adalah sayapnya yang telah lama hilang. Melihat
sayap itu, maka tahulah ia bahwa suaminyalah yang telah mengambil sayapnya. Ia
tidak dapat lagi menyembunyikan kegembiraannya. Keinginannya untuk kembali ke
negerinya pun semakin meluap-luap. Namun, ketika mengambil sayap itu hatinya
kembali bersedih, karena beberapa bagian sayapnya sudah sobek.
“Wah,
sayap ini perlu dijahit. Tapi, bagaimana caranya agar tidak ketahuan suamiku?”
kata Boilode dengan bingung.
Setelah
berpikir keras, akhirnya ia menemukan sebuah cara. Ia akan berpura-pura mual
dan mengaku hamil di hadapan suaminya. Dengan begitu, Lahilote pasti akan
merasa senang dan bahagia, dan akan memenuhi segala keinginan istrinya.
Keesokan
harinya, Boilode berpura-pura sedang mual dan ingin sekali makan ikan laut.
“Kanda!
Perut Dinda terasa mual. Dinda ingin sekali makan ikan laut. Maukah Kanda pergi
mencarikannya?” pinta Boilode dengan pura-pura.
Tanpa
curiga sedikit pun dan dengan senang hati, Lahilote pun segera berangkat ke
laut untuk memenuhi permitaan Boilode. Setelah suaminya pergi, ia segera
menjahit bagian-bagian sayapnya yang sobek. Akhirnya, berkat usaha dan
ketekunannya, sayapnya pun kembali seperti semula dan dapat digunakan untuk
kembali ke negerinya. Sebelum terbang ke Kahyangan, ia berpesan kepada lumbung
padi milik suaminya.
“Wahai,
Lumbung Padi! Jika suamiku telah kembali dari laut dan menanyakan diriku,
tolong jangan engkau beritahu dia bahwa aku sudah menemukan sayapku. Jangan
pula engkau beritahu dia bahwa aku telah kembali ke negeriku,” ujar Boilode.
Setelah
itu, Boilode juga berpesan kepada pintu, jendela, dapur, belanga, dan semua
perabot tanggan lainnya dengan pesan yang sama, yaitu agar mereka merahasiakan
kepergiannya kepada Lahilote. Selain itu, ia juga berpesan kepada tetumbuhan,
rerumputan, dan pepohonan dengan pesan yang sama. Hanya kepada pohon Hutia Mala
(rotan) ia tidak berpesan, karena menurut cerita, Hutia Mala adalah
satu-satunya pohon yang tidak mau dipengaruhi oleh siapa pun. Ia akan selalu
jujur dan berkata sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Setelah
itu, Boilode Hulawa pun terbang ke angkasa. Sebelum sampai ke angkasa, terlebih
dahulu ia melihat keadaan suaminya yang sedang mencari ikan di laut. Dari
udara, ia melihat suaminya sedang beristirahat dan tidur terlentang di pantai.
Ia pun meludahi suaminya dengan luwa la pomama (air sirih pinang) dan tepat
mengenai dadanya. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan menuju ke pintu
langit. Sementara itu, Lahilote segera terbangun begitu merasakan ada air
hangat di atas dadanya. Setelah mengamati dan mencium bau air luwa lo pomama
itu, ia yakin bahwa luwa itu keluar dari mulut istrinya.
“Wah,
jangan-jangan istriku telah menemukan sayapnya?” pikirnya.
Tanpa
berpikir panjang, Lahilote segera berlari kembali ke rumahnya dan memeriksa
lumbung padinya. Ternyata dugaannya benar, sayap itu tidak ada lagi di
tempatnya. Mengetahui hal itu, lemaslah sekujur tubuhnya. Untuk memantapkan
keyakinannya, ia segera mencari keterangan dengan menanyai semua yang ada di
sekitarnya, namun tak satu pun yang mau memberitahukan keberadaan istrinya.
Meski demikian, ia tidak mau putus asa. Ia terus berusaha mencari keterangan ke
sana kemari tanpa kenal lelah.
Setelah
berhari-hari berjalan keluar masuk hutan, akhirnya Lahilote bertemu dengan
Hutia Mala dan mengetahui bahwa istrinya telah kembali ke Kahyangan. Lahilote
kemudian meminta pertolongan kepada Hutia Mala agar mengantarnya ke Kahyangan.
Pohon ajaib itu bersedia menolongnya, tapi Lahilote harus memenuhi beberapa
persyaratan yaitu: pomala-malabi`u ode Pakusina, wau Dakusina, ode Masariku,
wawu Magaribu (besedia dihempaskan ke negeri Palestina, ke Damaskus, ke Timur,
ke Barat, dan ke seluruh alam empat penjuru); mencari seekor kucing kecintaan
nabi untuk ditugaskan menjaga batang Hutia Mala agar tidak dimakan tikus; dan
menyediakan tujuh buah kelapa yang kulitnya keras bila dikupas (bongo pi`ita)
untuk makanan kucing tersebut.
Tanpa
berpikir panjang, Lahilote menyanggupi persyaratan tersebut. Setelah menyiapkan
segala persyaratan itu, ia pun segera memanjat pohon Hutia Mala. Ketika berada
di atas pohon, ia dihempaskan secepat kilat ke seluruh penjuru arah mata angin.
Betapa ngeri perasaan Lahilote melalui ujian tersebut. Ia berpegang sekuat
tenaga agar tubuhnya tidak terlempar. Setelah Hutia Mala berdiri tegak dan
diam, Lahilote pun melanjutkan perjalanan menuju Negeri Kahyangan.
Kedatangannya pun langsung diketahui oleh Boilode Hulawa dan
saudara-saudaranya. Namun, Boilode Hulawa berpura-pura tidak mengenal suaminya.
Sementara Lahilote kebingungan mengenali istrinya di antara tujuh wanita cantik
yang ada di hadapannya, karena paras dan kecantikan mereka sama persis sehingga
sulit untuk membedakannya.
Lahilote
semakin bingung karena perutnya terasa sangat lapar. Ia akan mati kelaparan
jika tidak diberi makan. Ia ingin meminta bantuan kepada istrinya, namun ia
tidak mengetahui yang mana istrinya di antara ke tujuh bidadari tersebut.
Karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar, ia pun menangis tersedu-sedu.
Beberapa saat kemudian, seorang lelaki tua datang menghampirinya.
“Hai,
anak manusia! Apa yang engkau risaukan, sehingga bersedih begitu?” tanya lelaki
itu.
Lahilote
pun menceritakan asal usul dan kerisauan hatinya kepada lelaki tua itu.
“Tenanglah,
Anak Muda! Pergilah menemui mereka! Perhatikanlah siapa di antara mereka yang
dihinggapi kunang-kunang di antara garis keningnya, maka itulah istrimu,” ujar
lelaki tua itu seraya menghilang entah ke mana.
Dengan
petunjuk itu, Lahilote kembali menemui ketujuh bidadari itu. Begitu bertemu dan
melihat salah seorang di antara mereka dihinggapi seekorang kunang-kunang, ia
segera memeluknya dengan erat.
“Istriku,
Kanda sangat merindukanmu,” ucap Lahilote sambil meneteskan air mata.
“Tidak!
Aku bukanlah istrimu,” sanggah putri itu sambil meronta-ronta.
Sebenarnya
putri itu tidak lain adalah Boilode Hulawa. Namun, ia berusaha mengelak dan
menghindari Lahilote, karena teringat penderitaannya ketika ia berada di bumi.
Akhirnya ia mengalah setelah Lahilote mendesaknya dan tidak mau melepaskan
pelukannya. Meski demikian, ia tidak mau menerimanya begitu saja. Lahilote
harus memenuhi beberapa persyaratan jika Lahilote masih ingin memperistrinya.
Persyaratan pertama, Lahilote harus menebang sebuah pohon besar dengan
menggunakan pisau kecil.
“Bagaimana
mungkin sebilah pisau kecil dapat menebang sebuah pohon besar?” pikirnya dengan
bingung.
Di
tengah kebingungannya, tiba-tiba seekor burung belatuk datang menghampiri dan
memberinya pertolongan. Burung belatuk itu bersama kawanannya segera mematuk
batang pohon itu hingga tumbang. Setelah itu, Lahilota segera melaksanakan
persyaratan berikutnya, yaitu mengangkat kayu besar itu ke suatu tempat tanpa
meninggalkan setangkai dan sehelai pun daunnya. Lahilote pun berhasil
melaksanakan syarat itu atas bantuan seekor ular besar. Demikian seterusnya
Lahilote selalu mendapat pertolongan sampai berhasil memenuhi semua persyaratan
Boilode Hulawa.
Boilode
Hulawa pun menepati janjinya, yakni bersedia menjalin hubungan suami-istri
dengan Lahilote. Sejak itu, Lahilote tinggal di Negeri Kahyangan dan
diperlakukan layaknya seorang pangeran. Mereka hidup rukun, damai, dan bahagia.
Namun, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama karena ditemukannya uban di
kepala Lahilote. Menurut adat yang berlaku, tak seorang pun penghuni Kahyangan
yang boleh beruban, karena hal itu pertanda ketuaan. Penduduk Kahyangan harus
menjalani kehidupan abadi dan tetap awet muda. Hal itulah yang membuat Boilode
Hulawa menjadi cemas.
“Kanda!
Kita harus merahasiakan hal ini. Jika salah seorang penghuni negeri ini
mengetahui ada uban di kepala Kanda, maka celakalah kita. Kita akan diusir dari
negeri ini,” ujar Boilde Hulawa.
“Bagaimana
kalau uban Kanda kita bakar saja, Dinda?” usul Lahilote.
“Jangan,
Kanda! Itu akan lebih berbahaya, karena keluarga Dinda akan mencium bau rambut
terbakar yang sangat menyengat,” kata Lahilote.
Mereka
pun bingung harus berbuat apa. Setelah berpikir keras, tidak ada jalan lain
yang harus mereka tempuh kecuali kembali ke bumi. Ketika tiba di pintu langit,
mereka sudah tidak mendapati pohon Hutia Mala yang dulu digunakan oleh
Lahilote. Pohon Hutia Mala sudah lapuk dimakan tikus, karena kucing yang
menjaganya sudah pergi akibat kehabisan makanan.
“Waduh,
Dinda! Bagaimana caranya Kanda bisa turun ke bumi? Pohon Hutia Mala itu sudah
tidak ada lagi, sedangkan Kanda tidak mempunyai sayap seperti Dinda,” tanya
Lahilote dengan bingung
Sejenak
Boilode Hulawa terdiam. Setelah berpikir keras, ia pun menemukan sebuah cara,
yaitu dengan menjadikan rambutnya sebagai jalan bagi Lahilote untuk sampai ke
bumi. Satu persatu Boilode mulai mencabut rambutnya lalu menyambungnya. Setelah
itu, ia menyuruh Lahilote berpegangan dan bergelantungan pada ujung rambut itu.
Boilode telah mencabut seluruh rambut di kepalanya hingga menjadi gundul, namun
Lahilote belum juga sampai ke bumi. Akhirnya, Lahilote melayang-layang di
antara langit dan bumi. Tubuhnya terhempas ke seluruh penjuru arah karena
tertiup angin.
Dalam
keadaan demikian, tiba-tiba cuaca berubah. Langit menjadi mendung, angin topan
bertiup kencang disertai hujan deras. Selang beberapa saat kemudian. tiba-tiba
petir datang menyambar tubuh Lahilote hingga terbelah menjadi dua. Tak ayal
lagi, ia pun jatuh ke bumi dalam posisi berdiri. Tubuhnya bagian kiri terhempas
di Pulau Boalemo, Sulawesi Tengah, sedangkan tubuhnya bagian kanan terhempas di
Pantai Pohe yang ditandai dengan adanya telapak kaki kanan di atas sebuah batu.
Oleh masyarakat setempat batu itu diberi nama Botu Liodu Lei Lahilote.
Wah bagus cerita rakyatnya Pak, saya baru tahu ada kisah seperti ini. Oh ya, selain Asal Mula Lahilote, apalagi cerita rakyat yang berasal dari Gorontalo Pak?
BalasHapusbanyak buk nanti saya uplod lagi ceritanya..
Hapus